Hukum Bershalawat
Para ulama berbeda pendapat tentang perintah yang dikandung oleh ayat "Shallû 'Alayhi wa Sallimû Taslîmân = bershalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah kamu kepadanya," apakah untuk sunnat apakah untuk wajib.
Kemudian
apakah shalawat itu fardlu 'ain ataukah fardlu kifayah. Kemudian apakah
membaca shalawat itu setiap kita mendengar orang menyebut namanya
ataukah tidak.
Asy-Syâfi'i berpendapat bahwa bershalawat di dalam
duduk akhir di dalam sembahyang, hukumnya fardlu. Jumhur ulama
berpendapat bahwa shalawat itu adalah sunnat.
Kata Al-Syakhâwî :
"Pendapat yang kami pegangi ialah wajibnya kita membaca shalawat dalam
duduk yang akhir dan cukup sekali saja dibacakan di dalam suatu majelis
yang di dalam majelis itu berulang kali disebutkan nama Rasul.
Al-Hâfizh
Ibn Hajar Al-Asqalânî telah menjelaskan tentang madzhab-madzhab atau
pendapat-pendapat ulama mengenai hukum bershalawat dalam kitabnya "Fath
al-Bârî", sebagaimana di bawah ini.
Para ulama yang kenamaan, mempunyai sepuluh macam madzhab (pendirian) dalam masalah bershalawat kepada Nabi Saw.:
Pertama, madzhab Ibnu Jarîr Al-Thabarî. Beliau berpendapat, bahwa bershalawat kepada Nabi, adalah suatu pekerjaan yang disukai saja.
Kedua,
madzhab Ibnu Qashshar. Beliau berpen-dapat, bahwa bershalawat kepada
Nabi suatu ibadat yang diwajibkan. Hanya tidak ditentukan qadar
banyaknya. Jadi apabila seseorang telah bershalawat, biarpun sekali
saja. Terlepaslah ia dari kewajiban.
Ketiga, madzhab Abû
Bakar Al-Râzî dan Ibnu Hazmin. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa
bershalawat itu wajib dalam seumur hidup hanya sekali. Baik dilakukan
dalam sembahyang, maupun di luarnya. Sama hukumnya dengan mengucapkan
kalimat tauhid. Selain dari ucapan yang sekali itu hukumnya sunnat.
Keempat,
madzhab Al-Imâm Al-Syâfi'i. Imam yang besar ini berpendapat, bahwa
shalawat itu wajib dibacakan dalam tasyahhud yang akhir, yaitu antara
tasyahhud dengan salam.
Kelima, madzhab Al-Imâm
Asy-Sya'bî dan Ishâq. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu
wajib hukumnya dalam kedua tasyahud, awal dan akhir.
Keenam,
madzhab Abû Ja'far Al-Baqîr. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu
wajib dibaca di dalam sembahyang. Cuma beliau tidak menentukan
tempatnya. Jadi, boleh di dalam tasyahhud awal dan boleh pula di dalam
tasyahhud akhir.
Ketujuh, madzhab Abû Bakar Ibnu Bakir.
Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib kita membacanya
walaupun tidak ditentukan bilangannya.
Kedelapan,
madzhab Al-Thahawî dan segolongan ulama Hanafiyah. Al-Thahawî
berpendapat bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap kita mendengar
orang menyebut nama Muhammad. Paham ini di ikuti oleh Al-Hulaimî dan
oleh segolongan ulama Syâfi'iyyah.
Kesembilan, madzhab
Al-Zamakhsyarî. Al-Zamakhsyarî berpendapat, bahwa shalawat itu
dimustikan pada tiap-tiap majelis. Apabila kita duduk dalam suatu
majelis, wajiblah atas kita membaca Shalawat kepada Nabi, satu kali.
Kesepuluh,
madzhab yang dihikayatkan oleh Al-Zamkhsyarî dari sebagian ulama
Madzhab ini berpendapat bahwa bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap
kita mendoa.
Untuk mengetahui manakah paham yang harus dipegangi
dalam soal ini, baiklah kita perhatikan apa yang telah diuraikan oleh
Al-Imâm Ibn Al-Qayyim dalam kitabnya Jalâul Afhâm, katanya : "Telah
bermufakat semua ulama Islam atas wajib bershalawat kepada Nabi,
walaupun mereka berselisih tentang wajibnya di dalam sembahyang.
Segolongan ulama tidak mewajibkan bershalawat di dalam sembahyang. Di
antaranya ialah, Al-Thahawî, Al-Qâdhî al-'Iyâd dan Al-Khaththabî.
Demikianlah pendapat para fuqaha selain dari Al-Syâfi'i."
Dengan
uraian yang panjang Al-Imâm Ibn Al-Qayyim membantah paham yang tidak
mewajibkan shalawat kepada Nabi Saw. di dalam sembahyang dan menguatkan
paham Al-Syâfi'i yang mewajibkannya.
Al-Imâm Ibn Al-Qayyim
berkata: "Tidaklah jauh dari kebenaran apabila kita menetapkan bahwa
shalawat kepada Nabi itu wajib juga dalam tasyahhud yang pertama. Cuma
hendaklah shalawat dalam tasyahhud yang pertama, diringkaskan. Yakni
dibaca yang pendek.
Maka apabila kita renungkan faham-faham yang
telah tersebut itu, nyatalah bahwa bershalawat kepada Nabi itu disuruh,
dituntut, istimewa dalam sembahyang dan ketika mendengar orang menyebut
nama Nabi Muhammad Saw.
Berkata Al-Faqîh Ibn Hajar Al-Haitamî
dalam Al-Zawâjir: "Tidak bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. ketika
orang menyebut namanya, adalah merupakan dosa besar yang keenampuluh."
Artinya: "Apakah
tidak lebih baik saya khabarkan ke-padamu tentang orang yang dipandang
sebagai manusia yang sekikir-kikirnya? Menjawab sahabat : Baik benar, ya
Rasulullah. Maka Nabi-pun bersabda : Orang yang disebut namaku
dihadapannya, maka ia tidak bershalawat ke-padaku, itulah manusia yang
sekikir-kikirnya." (HR. Al-Turmudzû dari 'Ali).
Kemudian hadis Nabi yang lain
Artinya: "Kaum
mana saja yang duduk dalam suatu majelis dan melamakan duduknya dalam
majelis itu, kemudian mereka bubar dengan tidak menyebut nama Allah dan
tidak bershalawat kepada Nabi, niscaya mereka menghadapi kekurangan dari
Allah. Jika Allah meng-hendaki, Allah akan mengadzab mereka dan jika
Allah menghendaki, Allah akan memberi ampunan kepada mereka. " (HR Al-Turmudzî).
0 komentar:
Posting Komentar